Semangat Berangkat Sekolah Anak-anak di Dunia
Semangat Berangkat Sekolah Anak-anak di Dunia
Bagi kebanyakan orangtua dan anak-anak, menyeberang jalan atau mengejar angkutan umum dan bus sekolah mungkin adalah bagian yang paling berisiko dari aktivitas 'berangkat sekolah'. Tapi lihatlah betapa berat perjuangan anak-anak sekolah dibawah ini untuk mencapai sekolahannya, yang mudah-mudahan akan mengetuk hati kita semua ...
Desa Genguan, China
Dari desa Genguan, Cina, setiap hari, anak-anak berjalan di sepanjang jalan yang berbahaya di sisi tebing, karena inilah satu-satunya cara tercepat ke sekolah mereka di Bijie,Provinsi Guizhou barat daya China. Banpo Elementary School terletak setengah jalan menuju gunung dan jalan tersebut melalui tebing-tebing berbahaya dan terowongan yang digali. Kerikil-kerikil tajam berserakan sepanjang jalan setapak yang lebarnya kurang dari 0,5 meter, yang berarti anak-anak harus berjalan satu per satu dan tidak dapat berdampingan.
Jalan setapak ini dibuat 40 tahun yang lalu sebagai saluran irigasi dan meskipun ada rute lain yang lebih aman, namun dengan memilih melalui jalan ini berarti anak-anak hanya memerlukan waktu dua jam untuk berjalan ke sekolah. Satu-satunya jaminan bagi para orang tua mereka adalah bahwa Kepala Sekolah Xu Liangfan turut menyertai 49 orang anak ke sekolah.
Kisah nyata diatas mungkin terdengar luar biasa bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian lagi, kisah diatas masih belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan mereka untuk sampai ke sekolah. Anda akan terkejut dengan kerasnya kemauan beberapa anak untuk pergi bersekolah.
Kampung Batu Busuk Sumatera Barat, Indonesia
Di Sumatera, Indonesia, ada murid-murid berkemauan keras dari kampung Batu Busuk berjalan menuju sekolah mereka. Setiap hari, sekitar 20 siswa dari desa tersebut harus berjalan sejauh tujuh mil atau sekitar 11,2 kilometer ke dari kampung ke sekolah mereka di Kota Padang. Alih-alih malas dan bolos, mereka rajin menapaki jalan menuju sekolah termasuk harus melewati hutan. Mereka pun harus melewati jembatan yang rusak parah akibat hujan deras.
Yang tersisa dari jembatan tersebut hanya untaian-untaian kabel. Para siswa sekolah dasar dan menengah pertama tersebut harus berusaha menjaga keseimbangan saat melalui kabel-kabel yang terbentang di atas sungai. Tak hati-hati, para siswa ini bisa terluka, tenggelam dalam arus sungai, atau bahkan nyawa melayang karena jarak kabel pijakan mereka dengan sungai tersebut cukup tinggi, 30 kaki atau sekitar 9 meter.
Desa Sanghiang Tanjung, Lebak Banten, Indonesia
Di desa lain di Indonesia, yaitu desa Sanghiang Tanjung, Lebak Banten, anak-anak yang tinggal di salah satu sisi dari Sungai Ciberang harus menyeberangi sebuah jembatan gantung yang sudah rusak untuk mencapai sisi lain di mana sekolah mereka berada. Salah sedikit saja, mereka bisa terpeleset dan tercebur ke sungai Ciberang yang berarus deras dan dalam. Sungai ini kerap digunakan wisatawan untuk olahraga arung jeram.
Kabar Buruknya: Perjuangan siswa-siswa sekolah di kampung ini kemudian dibidik fotografer Reuters dan dimuat media Inggris, Daily Mail. Situs ini menuliskan betapa beratnya perjalanan para pelajar Indonesia menuju ke sekolah. Harian ini bahkan menyamakan aksi mereka dengan adegan berbahaya di film Indiana Jones.
Kabar baiknya: Perusahaan baja terbesar di Indonesia, PT Krakatau Steel dan beberapa LSM membangun jembatan baru untuk menggantikan jembatan yang rusak karena banjir bulan Januari 2012.
Desa Suro-Plempungan, Boyolali, Indonesia
Di lain desa di Indonesia, anak-anak sekolah dasar yang tinggal di Desa Suro, Boyolali, dan Desa Plempungan, Karanganyar, Jawa Tengah, lebih memilih melewati saluran air yang menghubungkan dua desa tersebut, dalam perjalanan mereka ke sekolah sebagai cara pintas, meskipun jalan air itu tidak dibuat untuk dilintasi manusia. Meskipun berbahaya, anak-anak mengatakan lebih suka melewati saluran air ini daripada harus menempuh jarak lebih dari enam kilometer.
Sebuah Desa terpencil di Rizal, Filipina
Di Filipina, siswa-siswa SD harus menggunakan ban bekas untuk menyeberangi sungai dalam perjalanan mereka ke sekolah di sebuah desa terpencil di provinsi Rizal, di timur ibukota Manila. Para siswa harus berjalan selama setidaknya satu jam saat berangkat dan dan pulang sekolah. Kadang-kadang mereka terpaksa tidak bisa mengikuti pelajaran atau terpaksa berlindung di rumah-rumah kerabat jika sungai dalam keadaan banjir karena hujan lebat. Masyarakat telah mengajukan petisi kepada pemerintah setempat untuk membangun jembatan gantung agar melintasi sungai ini dapat dilakukan dengan lebih mudah, lebih cepat dan lebih aman.
Trong Hoa, Vietnam
Anak-anak Filipina diatas setidaknya memiliki ban bekas. Namun siswa-siswa di Vietnam tidak seberuntung itu. Puluhan murid dari kelas 1 sampai kelas 5 berenang dua kali sehari menyeberangi sungai untuk sampai ke sekolah mereka di komune Trong Hoa, distrik Minh Hoa. Untuk menjaga pakaian dan buku-buku mereka agar tidak basah, para siswa menempatkannya dalam kantong plastik besar yang tertutup rapat saat berenang dengan hampir telanjang melintasi sungai. Tas plastik ini juga digunakan untuk menjaga mereka agar mengapung sambil berenang ke seberang sungai. Setelah mencapai sisi lain dari sungai, mereka mengeluarkan pakaian mereka dari tas dan memakainya kembali. Sungai ini lebarnya 15 meter dan berkedalaman 20 meter.
Nepal
Jembatan Gondola sangat umum di negara pegunungan Nepal. Anak-anak menggunakan jembatan buatan yang dibuat dengan papan, tali improvisasi dan kerekan, tanpa pengaman sama sekali. Selama beberapa dekade, kurangnya keamanan jembatan seperti ini telah menyebabkan banyak kecelakaan. Untungnya, beberapa LSM saat ini terus membangun jembatan-jembatan yang lebih aman untuk mengurangi kecelakaan.
Sebuah Desa di Colombia
Di Columbia, anak-anak dari beberapa keluarga yang tinggal di hutan hujan, 40 km sebelah tenggara dari ibukota Columbia, Bogota, berjalan melalui kabel baja yang menghubungkan satu sisi lembah ke sisi yang lain. Ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai sekolah. Kabel baja sepanjang 800 meter digantung setinggi 400 meter di atas Rio(sungai) Negro yang mengaum dibawah.
Fotografer Christoph Otto mengambil gambar luar biasa saat Daisy Mora dan adiknya, Jamid, meluncur dengan kecepatan sangat tinggi yaitu sekitar 50 mil per jam. Tangan kiri Daisy Mora berpegangan pada karung (yang tergantung pada kerekan) yang berisi adiknya, yang berusia lima tahun, dan tangan kanannya memegang sebuah cabang yang berfungsi sebagai rem. Seluruh perjalanan memakan waktu 60 detik.
Uighur, Xinjiang, China
Kembali di Cina, sekitar 80 anak-anak sekolah yang tinggal di boarding school di Pili, harus memulai perjalanan sejauh 125 mil yang berbahaya melalui pegunungan di Daerah Otonomi Uighur, Xinjiang, yang terpencil, di akhir masa belajar mereka. Anak-anak juga harus menyeberang melalui empat sungai beku, menyeberangi jembatan rantai setinggi 650ft dan empat jembatan papan-tunggal. Perjalanan ini memakan waktu dua hari.
Daerah Konflik Yerusalem
Akhirnya, di sini adalah satu gambar mencolok ditangkap oleh fotografer Reuter Ammar Awad tahun 2010. Selama bentrokan antara pasukan Israel dan warga Palestina di kamp pengungsi Shuafat, dekat Yerusalem, seorang gadis terlihat tenang berjalan menuju sekolahnya tidak peduli dengan kekerasan di sekitarnya. Jalan ini penuh dengan batu-batu dilemparkan oleh demonstran ke arah pasukan Israel yang bersenjata lengkap seperti yang dapat dilihat di belakang gadis dengan perisai pelindung mereka.