Di
zaman yang serba semrawut ini, tidak mudah untuk mendefinisikan figur ideal
seorang Kiyai. Apalagi bila dikaitkan dengan fungsinya untuk menghadapi arus
globalisasi. Sebab kini para Kiyai
tidak lebih dari penjelmaan makhluk yang ambigu (berwajah dua & berpendirian
ganda), bahkan penuh anomali. Kendati pernyataan ini tak dapat mengingkari
fakta bahwa Kiyai, hingga kini, juga masih diyakini sebagai sumur moral yang
diharapkan akan keberkahannya.
Di Jawa dikenal dengan sebutan untuk seseorang yang dihormati dengan
“Panembahan”, Ki ageng juga ki gede. Yang sifatnya spiritual-politis.
Khususnya di Jawa Timurlah asal usul kata Kiyai bermula, di Jawa bagian pelosok desa ada perkumpulan suatu golongan yang mengadakan acara. Dimana pada waktu akhir acara, mereka saling menunjuk satu sama lain untuk mengakhiri acara dengan doa.
Beginilah ilustrasi dialog mereka dalam bahasa jawa.
Bahasa Indonesianya:
Ayo siapa yang bagian doa ini
Yang lainya saling menunjuk (ikiae-ikiae) bahasa indonesia-nya ini saja, dan akhirnya sudah mentok kepada orang terakhir yang ditunjuk untuk berdoa sebisanya.
Dari saling tunjuk menunjuk dan tidak tahu sebutan orang yang dapat bagian doa, akhirnya semua mendengarkan itu dan sepakat bahwa julukan untuk orang yang memimpin doa disebut Kiyai. Itu dia asal usulnya Kiyai bermula.
Lalu
penyebutan Kiyai di jawa tengah diberikan kepada benda dan fenomena yang spiritual,
mistik dan dihormati secara kultural. Seperti pusaka, simbol-simbol budaya,
hewan-hewan yang disucikan atau makhluk ghaib yang mendiami sebuah tempat yang
disakralkan.
Kiyai Nogososro
Kiyai Nacawilaca
Kiyai Slamet
Kiyai Langgeng
0 komentar:
Posting Komentar