Presiden Jokowi, Pilih Partai atau Rakyat?
PDI-P satu-satunya fraksi di DPR yang sudah menentukan sikap resmi untuk mendukung revisi UU KPK ini. Hanya PDI-P pula yang mendukung semua isi draf revisi UU KPK yang diedarkan pada rapat Baleg itu. Rencana revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR diusulkan oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi pada rapat Badan Legislasi, Selasa (6/10/2015) pekan lalu.
Rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat Presiden Joko Widodo berada di antara dua pihak yang punya keinginan berbeda.
Jika Jokowi menyetujuinya, keputusan tersebut akan bertentangan dengan kehendak mayoritas rakyat. Namun, Jika menolak revisi ini, Jokowi secara tidak langsung telah membuat keputusan yang bertentangan dengan kehendak partainya, PDI Perjuangan.
Bahkan, Sekretaris Fraksi PDI-P Bambang Wuryanto menjelaskan, revisi ini datang langsung dari pimpinan partai berlambang banteng itu. Oleh karena itu, semua anggota fraksinya harus patuh dan mendukung penuh revisi ini.
"PDI Perjuangan kan harus tegak lurus. Kalau perintah komandannya, pimpinannya A, maka kita A semua. Kalau B, ya B semua," kata Bambang beberapa waktu lalu.
Namun, saat ditanya apakah pimpinan yang dimaksud adalah Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri, Bambang enggan menjawabnya. Dia hanya menegaskan bahwa revisi ini adalah perintah yang datang langsung dari partai.
"Ini perintah partai. Kita sepakat. Kalau A, ya A semua," katanya.
Bambang memang tak mengungkapkan apakah perintah partai ini berlaku juga untuk kader PDI-P di eksekutif. Namun, menarik untuk menunggu reaksi Jokowi atas sikap resmi PDI-P ini.
Penolakan publik
Pada sisi lain, rakyat menentang rencana revisi ini karena dinilai dapat melemahkan, bahkan membunuh KPK yang sudah berdiri sejak 2002. Alasannya, pada draf revisi UU yang ada, diatur bahwa KPK hanya diberi waktu selama 12 tahun setelah revisi UU tersebut diundangkan.
Selain itu, ada pula batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal Rp 50 miliar. Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. Padahal, selama ini banyak kasus besar yang terungkap dari hasil penyadapan.
KPK juga diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.
Hingga Minggu (11/10/2015) malam, petisi "Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK" yang dibuat oleh Suryo Bagus dichange.org sudah ditandatangani oleh lebih dari 40.000 netizen. Penolakan ini tak hanya terjadi di dunia maya.
Sejak revisi ini mencuat pekan lalu, penolakan juga muncul melalui aksi masyarakat. Misalnya, di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, demonstran menggelar aksi peletakan batu pertama museum KPK untuk menyindir upaya pembubaran lembaga antirasuah itu.
Tingkat kepercayaan publik tinggi
Survei Indo Barometer juga mencatat, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK masih tinggi. Dari semua lembaga negara yang disurvei, KPK menempati peringkat pertama dengan 82 persen responden menyatakan kepercayaannya. Hasil berbanding terbalik didapatkan oleh kepolisian (56,5 persen) dan kejaksaan (53,5 persen).
Namun, lembaga yang mendapatkan kepercayaan terendah dari publik adalah DPR RI dengan hasil 44,5 persen. Terhadap penolakan publik ini, sejumlah elite PDI-P bergeming dan menyatakan akan tetap merevisi UU KPK.
Fraksi lain di DPR juga menyatakan setuju UU KPK harus direvisi meski masih ada perbedaan terkait pasal-pasal yang akan diubah, dikurangi, atau ditambah. Kuncinya pun kini ada pada Jokowi sebagai kepala pemerintahan.
Revisi UU KPK dipastikan tidak jalan jika pemerintah menolak karena pembahasan suatu UU harus dilakukan bersama-sama antara DPR dan pemerintah. Sejauh ini, Jokowi belum mengeluarkan sikap terkait polemik revisi UU KPK ini. Saat ditanya masalah ini, seusai meninjau Balai Pembibitan Peternakan Sapi di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Jokowi menolak untuk berkomentar.
"Di sini urusan sapi ya, cukup ya," ucap Presiden, Kamis pekan lalu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang juga politisi PDI-P juga belum mau bersikap karena tak mau membuat polemik ini bertambah heboh.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengakui, pemerintah memang belum mau bersikap karena masih menunggu komunikasi dengan DPR sambil mengamati respons masyarakat terkait rencana revisi UU tersebut.
"Pemerintah tentunya memperhatikan pro dan kontra, aspirasi yang ada," kata Pramono.
Jokowi sendiri sebenarnya sudah pernah menyatakan penolakan saat rencana revisi ini mencuat pada Juni 2015 lalu. Namun, tidak pernah ada surat tertulis yang disampaikan pemerintah kepada DPR terkait penolakan itu. Akibatnya, draf UU KPK yang sudah diajukan pemerintah dalam program legislasi nasional 2015 tidak pernah dicabut.
Sikap Presiden ini pun sempat dipertanyakan oleh anggota Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu.
"Ini kan negara, masa nolak pakai statement. Bikin dong pakai surat," kata Masinton.
Seperti apa sikap Presiden tak lama lagi akan terungkap antara rapat konsultasi antara pemerintah dan pimpinan DPR. Pada Jumat pekan lalu, DPR telah mengirim surat undangan kepada Istana. Wakil Ketua DPR Fadli Zon berharap rapat konsultasi dapat digelar pada pekan ini.
Jadi, Presiden Jokowi, pilih partai atau rakyat?
0 komentar:
Posting Komentar