Islam Nusantara, ‘Ashobiyah Jahiliyah dan Katolik
Ilustrasi voaislamcom
Resiko Mencipta Jerat Berlabel Agama
Ada kelompok yang bersikeras untuk menciptakan jerat bagi musuhnya. Karena kalau tidak dijerat, musuh itu dianggap akan senantiasa memangsa kelompok itu, hingga kemungkinan tinggal sisa sedikit atau bahkan tinggal nama. Oleh karena itu kelompok ini bersikeras dengan mengumpulkan penggede-penggedenya untuk mencipatakan jerat yang ampuh.
Tidak tanggung-tanggung. Jerat yang diciptakan itupun dideklarasikan dalam rapat akbarnya. Dan tidak tanggung-tanggung pula, jerat itu pakai label agama, ditambah dengan nama kelompoknya namun disamarkan dengan nama teritorial atau regional atau wilayah bagian jagad dunia.
Persoalannya jadi rumit, karena nama itu sendiri tidak lazim. Hingga dari pihak kelompok itu sendiri banyak yang tidak setuju, bahkan menghantamnya dengan keras. Dalil-dalil pun disemprotkan kepada orang tetua yang menuangkan paparan pokok gagasan jerat dengan label agama itu di media Katolik.
Kenapa tetua itu menuangkan khittah jeratnya di media katolik?
Karena menurut dedengkot lainnya yang kuliahnya di sekolah tinggi filsafat Katolik, muatan jerat tu memang paralel dengan Katolik.
Ya, kalau begitu, secara sadar atau tidak, tetua yang mengumumkan isi muatan jeratnya itu telah tunduk nglempuruk di bawah ketiak orang yang ilmunya diangsu dari sekolah tinggi filsafat katolik itu. Semakin keplantrang saja rupanya tetua yang ini.
Tragisnya lagi, tetua itu dituduh oleh seorang muda dari kelompok ini pula (bukan kelompok dari luar), namun hantamannya cukup keras. Sang tetua itu dituduh mengembalikan kepada alam ‘ashobiyah jahiliyah, yang itu sangat dilarang dalam agama. Disebutkan pula dalil-dalilnya.
Gonjang-ganjing di kelompok ini semakin membahana. Gara-gara menciptakan jerat dengan label agama dan dituduh mengembalikannya ke alam ‘ashobiyah jahiliyah, sedangkan penuduhnya juga dari kelompok itu sendiri, bukan dari kelompok lain, dan bukan pula dari kelompok yang akan dijerat; maka pihak yang akan dijerat hanya senyum-senyum saja.
Senyum penuh makna tentunya.
(Hartono Ahmad Jaiz)
0 komentar:
Posting Komentar